Hari ini, Selasa 19 April 2011, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) berulang tahun ke-81. Di usia yang sudah tua seperti itu, PSSI masih jadi bahan permainan kepentingan orang-orang di dalamnya.
Di usia 81 tahun, PSSI seperti seorang bapak tua yang terseok-seok karena ditarik ke sana ke mari oleh orang lain. Alih-alih duduk tenang dan memetik buah prestasi, PSSI malah harus menghadapi cekcok sana sini.
Delapan tahun terakhir, Nurdin Halid dan kroni-kroninya telah membuat begitu banyak kerusakan di PSSI. Prestasi timnas yang merosot tajam, kompetisi yang kacau balau dengan kerusuhan di sana sini, klub-klub manja yang cuma bisa bernapas bila disuntik dana APBD, dan serangkaian masalah lainnya.
Rezim Nurdin telah membuat gerah semua pecinta sepakbola Indonesia. Berbilang bulan berbilang tahun, desakan agar Nurdin mundur muncul bergelombang.
Nurdin mengabaikan protes itu tapi akhirnya ia tidak kuasa melawan keputusan FIFA yang melarangnya menjadi Ketua Umum PSSI lagi.
Hari ini, secara resmi selesai sudah rezim Nurdin di PSSI. Walau menjadi kado yang menyenangkan buat segenap pecinta sepakbola nasional, tetapi persoalan tidak otomatis selesai. PSSI ternyata masih dibelit masalah dan masalah lagi.
Komite Normalisasi (KN) yang dibentuk berdasar titah FIFA ternyata masih terus ditunggangi dan dirintangi kepentingan demi kepentingan. Sejumlah kelompok masih memaksakan majunya Nurdin dan tiga nama lain yang sudah dinyatakan tidak boleh maju oleh FIFA, yaitu Nirwan Bakrie, George Toisutta dan Arifin Panigoro.
Akhirnya, sekali lagi PSSI terjatuh pada kubangan kepentingan yang pastinya bukan akan menambah maju organisasi ini dan sepakbola Indonesia, tetapi justru membuat kaki PSSI makin terbenam dan susah melangkah maju.
Mengapa para pemilik suara tidak belajar dari kesalahan yang dilakukan Nurdin cs? Mengapa mereka bisa dengan seenaknya meminta KN melanggar aturan hanya untuk memuaskan syahwat berkuasa mereka? Bukankah sepakbola Indonesia hancur lebur karena rezim Nurdin gemar sekali menginjak-injak peraturan yang tak jarang mereka buat sendiri? Lantas, apa bedanya pihak-pihak yang mengaku pro perubahan dengan Nurdin dkk?
Kepentingan memang tidak bisa dihindarkan, tapi sudah seharusnya pertarungan kepentingan itu dilakukan dalam koridor peraturan yang berlaku. Bukan kemudian dengan tekanan dan politik lobi-lobi lantas mereka menganggap kalau mereka bisa seenaknya mendapat apa yang mereka inginkan.
Bukankah sebagian dari mereka yang mengaku pro perubahan itu dulu berteriak agar Nurdin dkk berhenti memperlakukan PSSI sebagai hak milik pribadi, mengapa mereka sekarang yang melakukannya?
Tanggal 19 April 1930, Soeratin Sosrosoegondo mendirikan PSSI dengan cita-cita sebagai alat perjuangan karena dengan sepakbola, harkat dan martabat Indonesia sebagai bangsa akan terangkat dan namanya akan dikenal dunia. Soeratin pasti tidak ingin PSSI sekadar menjadi alat politik kelompok tertentu.
Momen hari jadi PSSI seharusnya jadi saat yang tepat buat semua pihak yang punya kepentingan di PSSI buat memikirkan ulang tujuan mereka. Apakah mereka sekadar ingin menjadikan PSSI sebagai alat politik atau sebagai tempat mereka menangguk kepentingan pribadi.
Sudah waktunya berhenti menyeret-nyeret Pak tua PSSI seenaknya, saatnya mendudukkan PSSI di tempat yang tempat, yakni sebagai organisasi yang mengatur sepakbola Indonesia secara benar dan bermartabat, agar kelak sepakbola Indonesia bisa mencapai tujuannya, yakni untuk mengangkat nama bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar